KESENIAN TRADISIONAL CALUNG
SITI JUBAEDAH *
Calung, mungkin terdengar asing di telinga masyarakat
Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui alat musik tradisional khas Sunda ini. Padahal
prototipe dari Angklung ini juga memiliki harmoni yang sedap didengar dan
tentunya memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi.Berbeda dengan
Angklung, Calung tidak dimainkan dengan cara digoyangkan melainkan dengan
dipukul batang-batangnya dari yang terbuat dari ruas bambu. Ruas bambu tadi
tersusun sesuai dengan tangga nada pentatonik sehingga mudah untuk dimainkan.
Jenis bambu yang digunakan biasanya bambu awi wulung atau
bambu hitam. Meski terkadang dapat dijumpau Calung yang terbuat dari awi temen
atau bambu putih.Terdapat dua jenis Calung yakni Calung Rantay dan Calung
Jinjing. Calung rantay adalah calung yang bilah tabungnya dideretkan dengan
menggunakan tali kulit waru. Letaknya disusun dari yang terbesar hingga yang
terkecil dengan jumlah 7 ruas bambu atau lebih. Cara memainkannya dengan
dipukul dengan kedua tangan sambil duduk bersilah.
Calung biasanya diikat di pohon atau bilik rumah. Ada juga
yang dibuat ancakan atau dudukan khusus dari bambu/kayu seperti calung
tarawangsa diCibalong dan Cipatujah Tasikmalaya atau calung rantay yang ada di
desa Kanekes Baduy.Sedangkan calung jinjing biasanya berbentuk deretan bambu
yang disatukan dengan sebilah kecil bambu dan dijinjing. Terdiri atas empat
atau lima buah ruas bambu, calung ini juga disusun dari yang terbesar hingga
yang t erkecil.
Dipukul
dengan menggunakan pemukul di tangan kanan dan tangan kiri digunakan untuk
menjinjing calung jinjing tersebut. sedangkan teknik menabuhnya pun beragam
seperti dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, dirangkep, kotrek,
salancar dan solorok.Calung yang terkenal secara umum adalah calung jinjing.
Terutama pada masyarakat Sunda didaerah Sindang Heula. Namun seiring dengan
perkembangannya, calung jinjing juga kerap kali digabungkan dengan alat musik
lain. Bahkan saat ini juga digabungkan dengan alat musik yang lebih modern
seperti gitar, drum dan lainnya.
Secara
etimologi, kata calung berasal dari “caca cici sing kurulung” yang
berarti suara bilah bambu yang dipukul.Ada dua jenis calung yang terdapat di
Jawa Barat, yakni Calung Rantay dan Calung Jinjing.
Calung Rantay
Calung
rantay disebut juga calung renteng, calung gambang atau calung runtuy. Beberapa
ahli mengklasifikasikan bahwa calung rantay dan calung gambang berbeda jenis,
sebab di beberapa daerah calung gambang memiliki dudukan yang paten, kurang
lebih berbentuk seperti xylophon atau kolintang di Minahasa.Untuk memainkan
calug rantay biasanya dipukul menggunakan dua buah alat pemukul sambil duduk
bersila. Calung rantay terdiri dari bilah bambu yang diikat dan disusun
berderet dengan urutan bambu yang terkecil sampai yang paling besar,selanjutnya
tali pengikatnya direntangkan pada dua batang bambu yang melengkung.Jumlahnya
tujuh bilah atau lebih.Komposisinya ada yang berbentuk satu deretan dan ada
juga yang berbentung dua deretan, yang besar disebut calung indung (calung
induk) dan yang kecil disebut calung rincik(calung anak).Di beberapa
daerah seperti di Tasikmalaya, Cibalong, dan Kanekes, calung rantay memiliki ancakkhusus
dari bambu atau kayu.
Calung Jinjing
Calung
jinjing berbentuk tabung-tabung bambu yang digabungkan oleh paniir
(sebilah bambu kecil). Berbeda dengan calung rantay, calung jinjing dimainkan
dengan cara dipukul sembari dijinjing. Calung jinjing berasal dari bentuk dasar
calung rantay dibagimenjadi empat bagian bentuk wadrita(alat) yang
terpisah, yakni calung kingking, calung panepas, calung jongrong, dan
calung gonggong. keempat buah alatini dimainkan oleh empat pemain dan
masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda.
- Calung Kingking memiliki 15 bilah bambu dengan urutan nada tertinggi,
- Calung Panepas memiliki lima bilah bambu yang dimulai dari nada terendah calung kingking,
- Calung Jongrong sama dengan calung panepas, hanya saja urutan nadanya dimulai dari nada terendah calung panepas,
- Calung Gonggong hanya memiliki dua bilah bambu dengan nada terendah
- Zaman dahulu, para pemuda umumnya memainkan calung disela pekerjaannya mengusir burung dan hama lainnya di sawah. Sedangkan di Desa Parung, Tasikmalaya terdapat upacara yang disebut calung tarawangsa. Pada upacara ini calung dikolaborasikan dengan alat musik tarawangsa sebagai ritual penghormatan kepada Dewi Sri. Calung yang biasa dipakai untuk upacara ini yaitu calung rantay. Lagu-lagu yang dibawakan pada saat upacara ini berlangsung berisi puji-puijan kepada Dewi Sri.
Pada
perkembangannya, fungsi calung bergeser menjadi pengiring sebuah seni
pertunjukan yang bernama calungan. Perpaduan dalam mengkomposisikan
tabuhan gending, lagu, guyonan (lawakan) menjadi sebuah garapan musik rakyat
yang sangat digemari di seluruh lapisan masyarakat, khususnya di Jawa Barat.
Calung yang hidup dan dikenal masyarakat sekarang adalah calung dalam bentuk
penyajian seni pertunjukan, dengan mempergunakan waditra yang disebut calung
jingjing.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar