PAKAIAN ADAT PROVINSI BANTEN
SITI JUBAEDAH*
Dulunya Banten
adalah bagian dari Jawa Barat. Tetapi sejak tahun 2000, Banten memisahkan diri
dan menjadi Provinsi Banten. Dari sisi kebudayaan Banten dan Jawa Barat
memiliki kemiripan, begitu pula dengan pakaian adatnya. Meski begitu, Banten
tetap memiliki ciri kebudayaan tersendiri. Salah satunya adalah pakaian adat
Banten. Baju yang dikenakan masyarakat Banten sering disebut dengan
baju pangsi. Sementara celananya disebut dengan celana komprang yang
panjangnya sebatas mata kaki atau sampai betis.
Dulu pakaian
semacam ini sebenarnya juga sering digunakan oleh masyarakat Jawa Barat Sunda
dalam kesehariannya, terutama pada saat melakukan pencak silat. Makanya,
mengenakan pakaian adat ini seperti seorang jawara. Tapi, masyarakat Jawa Barat
sudah jarang mengenakan pakaian semacam ini. Sementara masyarakat Banten,
terutama suku Baduy masih menjaga kelestarian pakaian adat ini.Masyarakat Baduy
masih mengenakan pakaian adatnya dalam kehidupan sehari-hari.Baduy adalah
sebutan bagi suku di Banten. Baduy merupakan ciri khas bagi sebuah suku Banten.
Baduy di Banten memiliki dua suku, yaitu Baduy Dalam dan Baduy
Luar. Pakaian adatnya sama, hanya saja warna yang menjadi ciri khas berbeda.
Baduy Dalam sering mengenakan pakaian adat berwarna putih yang melambangkan
kesucian. Sementara Baduy Luar mengenakan pakaian adat berwarna hitam.
Para pria Baduy Dalam memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang karena mereka mengenakannya hanya disangsangkan atau dilekatkan di
badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi pada bagian leher sampai bagian
dada. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai
kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pakaian yang dijahit sangat sederhana, bajunya
tidak terdapat kancing. Selain itu juga, masyarakat Baduy mengenakan ikat
kepala berwarna putih atau hitam. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup
rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang. Pakaian adat
mereka lebih sederhana, dan lebih mengutamakan pendekatan alam, baik dari
karakter busananya maupun warna polos yang dikenakan.Pembuatannya hanya
menggunakan tangan, tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus
terbuat dari benang kapas asli yang ditenun. Bagian bawahnya menggunakan kain
sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar
kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain.
Adapun pakaian Baduy Luar,
mereka mengenakan baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah,
seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya
mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang
kapas murni.Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model
ataupun corak busana Baduy Luar menunjukan, bahwa kehidupan mereka sudah
terpengaruh oleh budaya luar. Pakaian bagi kalangan pria Baduy adalah amat
penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian
selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek di pundaknya.
Sedangkan pakaian yang dikenakan kaum perempuan
Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang
mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka
mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai
dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di
rumah.Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka
secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian
bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna
biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju
untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang
ditenun sendiri.
Masyarakat suku Baduy menenun sendiri pakaian
adatnya yang dikerjakan oleh kaum perempuan. Kaum perempuan mulai menenun
setelah masa panen. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna
pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan
putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam
dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang
dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Di samping pakaian adat yang dijelaskan di atas,
batik juga menjadi pakaian adat masyarakat Banten. Batik Banten bisa banyak
ditemui di Kota Serang Banten. Meskpiun batik sering dijumpai di berbagai
daerah di Indonesia, tapi batik Banten memiliki ciri khas yang berbeda dengan
batik lainnya. Ciri khas tersebut utamanya terletak pada motif warna. Warna
batiknya nampak meriah, sesuai dengan katakter masyarakat Banten pada umumnya
yang kuat, semangat dan penuh dengan harapan. Warna batiknya juga memiliki
perpaduan warna yang sesuai dengan pengaruh air bawah tanah.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar